Rabu, 23 Januari 2013

Melankolia di Tepian Thames


Melankolia di Tepian Thames


Melankolia di Tepian Thames ilustrasi Toto
AKU duduk di tepian sungai kebanggan orang London, Thames River. Sepuluh tahun ternyata begitu cepat. Seperti baru kemarin aku meninggalkan London. Suasana masih terekam sama: langit petang yang mirip lembayung di Lembang, kemilau riak air diterpa mentari, London Aquarium, kafe tempat menyambut malam dengan kursi dan meja berbahan kayu oak merah, dan ikon kota, London Eye. Hanya saja kincir besar warna putih gading yang berputar perlahan di depan Country Hall itu kini ramai dipenuhi wisatawan manca. Kabarnya kini sudah bertiket lebih dari 20 poundsterling. Perlu kecermatan yang ekstra untuk memastikan bahwa kapsul-kapsul kaca itu berputar hingga ke puncak, karena RPM-nya yang sedemikian pelan. Pantulan sinarnya menembus penjara-penjara di dada. Sepuluh tahun lalu kami bergandengan tangan, menyusuri tepian Thames River. Ada sungut-sungut hangat menjalar ke sela-sela jemari kami yang beradu erat.
Sepanjang St Thames orang hilir-mudik membicarakan keindahan. Ragam bahasa tumpah ruah di tepian Thames River. Kultur, warna kulit, joke bercampur menjadi miniatur dunia. Tak jauh beda dengan Jalan Braga di Bandung atau Jalan Malioboro di Yogyakarta. Hanya saja tak ada aroma pesing kencing kuda di sini. Aroma segar musim gugur.
Ada serpihan kenangan yang terikat erat dengan Thames River. Tersulam dalam jejak langkahku dari stasiun bawah tanah Westminster, kemudian menyusuri Westminster Bridge menuju South Bank Thames River. Usiaku memang sudahlah tidak muda, band-band Britania sudah dikalahkan dengan pendatang baru yang digandrungi anak muda. Tidak lagi sering kudengar lagu-lagu Duncan James yang masa-masa kuliah dahulu sering menduduki tangga billboard di Inggris. Dirinya adalah kenangan yang tak pernah bisa menghilang, walaupun harus ditenggelamkan dalam banjir Thames 1953. Lekat jelas ikal rambut blonde -nya, mata birunya, aroma badannya, senyum manisnya, dan tentu sentuhan di setiap rengkuhannya.
“Maukah kamu menikah denganku?” dirinya tiba-tiba melamarku. Suasana riuh-rendah Thames River, tidak mengurangi kejelasan suara. Briant memang gemar bercanda. Kutolehkan wajahku ke kepalanya dan kutatap bulat-bulat matanya. Waktu itu usiaku dua puluh tiga, dan itu hari-hari terakhirku di London. Tiga hari lagi pesawatku terbang pukul delapan malam menuju Indonesia. Kuyakini itu adalah kelakar sebagai penghibur farewell party.
Kubalas dengan tawa besar, “Tentu!”
Lalu kami menjadi sepasang kekasih paling bahagia di tanah Britania, atau seluruh dunia. Kami berangkulan sepanjang jalan. Tak memedulikan orang. Sebentar saja.
Aku belum pernah bertemu dengan lelaki seperti Briant Corrigant. Selain perawakan badannya yang tegap menawan, Briant adalah penulis puisi liris dan romantis. Dia mengajar seni di sekolah khusus anak-anak dengan keterbatasan pendengaran. “Mereka diciptakan Tuhan spesial, tak perlu banyak mendengar. Karena suara dunia begitu memekakkan,” begitu kata Briant ketika kupuji kesabarannya menerjemahkan dunia dengan isyarat tangan.
“Boleh kuminta nomor teleponmu?”
“Tiga hari lagi aku pulang ke Indonesia. Percuma saja.”
“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih.”
Kutuliskan saja nomor teleponku di selembar tisu. Dia melipat dan menyimpan di saku blazer abu-abu.
Malamnya dia meneleponku. Aku sedang mengepak kembali pakaian dalam kopor. Beberapa barang sudah kukirim lewat laut, aku tidak mau kembali berulah di bandara negara orang dengan barang bawaan berlebihan. Apalagi aku harus transit ke Qatar dan Singapura.
“Kamu punya waktu untuk makan malam besok?”
“Percuma saja, Briant. Aku akan pulang. Mungkin keinginanmu menikah hanya terlaksana dalam mimpi.”
“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih, bukan?”
“Tentu saja.”
Briant menawarkan cinta. Entah sejak kapan, aku tidak terlalu pasti. Mungkin saja saat pertama kali bertemu di Walter Rothschild, atau saat dia membawakan mantel di muka Stasiun Tottenham Court Road, atau untuk pertama kali dia menggandeng tanganku saat perjalan menyusuri Picadilly, atau ketika dia menunjukkan buku kumpulan puisinya, atau mengajakku berdansa di lantai, atau mengecup pertama kali kening dan mengucapkan “sampai ketemu besok.” Aku hanya diam. Kuurut kembali kehidupanku. Bersama Briant adalah letupan keindahan.
Mengapa baru sekarang Briant menawarkannya? Tiga tahun kuliah ekonomi di University College tak ada teman berbagi perasaan. Aku sendirian. Kolega Indonesia hanya terjebak rutinitas perkuliahan. Hanya Briant yang mewarnai dengan pulas warna lain. Briant lelaki nyentrik dan penuh letupan.
Aku dan Briant sky dinning di tepi Thames River. Briant berulang kali menyesal. Terlalu lama rasa itu diperam.
“Kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia? Selamanya?”
“Itu rencanaku.”
“Boleh aku main ke sana?”
“Boleh, tetapi tidak ada Thames River yang romantis. Adanya sungai kumuh, penuh sampah.”
“Ada kamu itu cukup.”
Sebelum usai makan malam, kutuliskan alamat rumahku di Lembang dan alamat kantorku di Bandung, serta nomor kontak yang bisa dihubungi. Tetapi tidak ada harapan ia akan datang. Siapa aku? Briant bisa dengan mudah mendapatkan gadis lain di Inggris, apalagi kariernya sebagai penyair kian moncer di khalayak.
Terpaksalah kami berpisah. Dia mengantarkanku hingga depan gerbang  check in . Briant melambai saat aku menghilang di terminal 5 Bandara Heathrow. Dengan janji yang tidak kuharap akan ditepati untuk mengunjungiku di Lembang.
***
AKU dengan mudah mengenalinya kembali. Postur tubuhnya memang terjiplak di retina. Susah menghapusnya. Aku sedang menggambil gambar London Eye, ketika rambut  blonde dan senyumnya tertangkap kamera.
“Sudah kubilang, kembali saja ke London.”
“Aku terpaksa ke sini.”
“Sungaimu tak seindah Thames River, bukan?”
Kami berpelukan sebagai kawan lama yang sepuluh tahun tak berjumpa.
“Aku kaget ketika kamu meneleponku kemarin. Seperti mimpi. Aku langsung mencukur jambang. Kamu membencinya, kan?”
Memang terlihat dagunya hijau habis dicukur.
“Aku sedang menemani istriku. Dia sedang ada konferensi di Langham Palace di St Regent. Lima belas menit lagi dia menyusul. Sudah kuceritakan tentang kejeniusanmu.”
“Kamu jadi menikah?” Briant terlihat murung.
“Jadi. Aku sudah punya anak dua, twin . Clara dan Jenna.”
How a great daddy! Di mana mereka? Ingin sekali aku mengecup pipi mereka. Pasti kenyal.”
“Mereka sedang tidur ditemani baby sitter-nya. Mereka cantik-cantik.”
“Syukur bukan sepertimu….”
Kami melepaskan tawa yang besar. Ada beberapa garis yang terpahat di sudut matanya. Garis yang pernah menjadi bagianku. Sekarang menjauh dan asing. Entahlah siapa yang kini sering mengurai kembali garis itu. Itu adalah pertanyaan yang kumaju-mundurkan dari lidahku. Ada rasa-rasa aneh yang menghalangi untuk mengetahui kehidupan Briant, yang dahulu pernah menjadi pasangan kasmaranku.
“Kamu masih menulis puisi? Kabarnya tulisanmu dipuji banyak orang.”
Briant menggeleng. “Aku sudah demikian tua untuk menulis kembali. Puisiku sudah menyatu dengan alam.”
“Sayang sekali. Betapa banyak orang yang menyukai puisimu kecewa. Termasuk aku….”
“Hidupku sudah datar, tak lagi mendatangkan inspirasi. Atau mungkin aku khawatir?”
“Khawatir?”
“Aku takut terkena gangguan jiwa.” Briant mengencangkan blazer. Udara musim gugur begitu dingin. “Banyak penulis besar terserang penyakit mental. Virginia Woolf, Victor Hugo, Ernest Hemingway, Sylvia Plath, Soseki Natsume. Mereka menuliskan kebahagiaan tetapi didera kekhawatiran besar.”
“Tidak semua penulis demikian.”
“Benar. Hanya mereka yang terlalu jenius yang bertahan. Aku tidak tahu, apa penulis-penulis besar itu menjadi gila setelah kebanyakan menulis atau menulis karya yang luar biasa karena mereka gila.”
Aku tersenyum agak lebar. “Dua-duanya pilihan buruk. Apa karena itu kamu berhenti berpuisi?”
“Kamu pilih mana, kejeniusan atau kebahagian?”
“Sepuluh tahun lalu saat bersamamu di sini, aku memilih kejeniusan. Itu membawaku ke kebahagiaan sekarang. Sepertinya sekarang kamu pun memilih hal yang sama.”
“Tapi sekarang berbeda. Kita sudah banyak berubah.”
Sekarang akan kutanyakan, “Kamu sudah menikah?”
“Kamu adalah satu-satunya lelaki yang pernah kuajak menikah. Kamu spesialku. Tidak pernah kulamar lagi orang lain.”
Ada desiran ombak yang sudah lama kuredam. Teringat masa-masa indah bersamanya. Aku tak berani mengucap kembali sepatah kata. Aku merunduk sambil mengaduk minuman di meja.
“Sudahlah. Ini takdirku.” Briant mencoba meraih kepalan tanganku.
“Maafkan aku. Aku tidak memiliki kejeniusan untuk menerimamu.”
“Sudah. Bahagialah dengannya.”
Dia memalingkan wajah ke arah Thames River.
“Kamu sudah berapa lama di sini?”
“Sebenarnya sudah dua minggu. Besok kami akan kembali. Aku takut menghubungimu kembali. Aku malu denganmu, Briant. Maka kupakai telepon hotel untuk menghubungimu.”
“Sepertinya kita selalu dijodohkan di akhir waktumu di Inggris. Besok, biarkan aku yang mengantar kalian ke Bandara.”
“Tidak usah. Itu merepotkanmu. Aku bisa menyewa taksi.”
“Ini tanda cinta terakhir untukmu.”
Dentang jarum Big Ben sayup-sayup terbawa angin ke tepian Thames River. Istriku sudah terlihat menenteng beberapa plastik oleh-oleh. Dia mengulum senyum.
“Istriku sudah selesai berbelanja.” Ada keraguan. Kurobek kertas dari buku agenda. “Itu istriku.”
Briant menoleh ke arah istriku yang datang dengan barang lumayan banyak. Dia melambai dan tersenyum. Tinggal beberapa meter lagi istriku sampai di meja kami. Segera kuserahkan sobekan kertas. Di selembar kertas koyak itu, kutuliskan nomor kamar kami, nomor ponselku, serta sebuah nomor kamar untuk kuberkencan dengan Briant. Hadiah terakhir. Hadiah untuk kebahagian kekasih lama.
Briant menyimpan di saku blazernya. (*)




sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2013/01/06/melankolia-di-tepian-thames/#more-3747

Tidak ada komentar:

Posting Komentar