Sepanjang Braga
Cerpen Kurnia Efendi (Media Indonesia, 13 Januari 2013)
AKU masih menunggumu. Kartu posmu yang nyaris terlambat menyebabkan aku berangkat ke Bandung serbaterburu. Tapi, di kafe langganan ini aku masih menunggumu. Dengan debar jantung tak tentu.
Cangkir kopi kedua tiba di meja. Sedang kunanti bunyi langkah sepatumu yang dibuat amat lambat. Kubayangkan kau datang dari belakang, berjingkat, mendekap mataku.
“Kena kau!” seruku. Serentak kupeluk pinggangmu melalui punggung kursi. Andai tubuhmu seramping dulu, jemari kedua tanganku saling berjalin di balik panggulmu.
“Aku mulai sibuk membantu Feliciano,” katamu di telepon, setengah tahun lalu. “Dia punya dua galeri. Setiap bulan, masing-masing menyelenggarakan diskusi.”
“Menyenangkan,” komentarku. “Kudengar Feliciano rajin menulis kritik seni rupa. Apa pendapatnya tentang Sepanjang Braga?”
“Sejauh ini dia objektif. Warna-warnamu tumbuh sebagai cermin perasaan. Misalnya kesepian yang mendalam. Harapan kembalinya masa lalu. Atau perlambang cinta yang tulus. Menurutnya, muncul pula gurat ambiguitas.
Tapi itu dipahami sebagai open ending jika dalam sastra. Itu yang membuatnya setuju untuk memborong semuanya.”
Kuhela napas dengan perasaan saling tindih: puas dan kecewa. Merasa berhasil menyampaikan bahasa hati, namun tercuri seluruh diriku.
“Dia masih penasaran, kenapa aku minta seratus lukisanmu itu sebagai mahar, Mas. Tentu aku tak ingin melukai perasaannya.”
Tiba-tiba aku seperti sedang mengucurkan perasan jeruk nipis pada segaris luka. “Masih ingat Kawisar?” kualihkan pembicaraan. “Penulis yang berubah profesi menjadi pelukis.”
“Ingat!” sahutmu bersorak. Sekarang tinggal di Bali. Aku pernah menginap di rumahnya, di Nusa Dua. Sepanjang lima-per-enam malam kami membincang aliran seni lukis yang menyergap kaum muda. Kami sebal pada romantisme tokoh-tokoh tua yang tak mau turun takhta. Jauh lebih menarik jika setiap generasi lahir dengan identitas sendiri dan diapresiasi sebagai mazhab.
“Setuju. Kadang-kadang aku berdebat dengan Feliciano, lo. Maaf, suamiku kaya raya. Tapi dia tidak mengabdi pada hartanya. Dia masih menghargai kebudayaan.”
Engkau beruntung. Aku juga. Seorang gadis cantik kupersunting sembilan tahun lalu, semenjak jejakmu hilang. Dia mencintai seni yang lain. Novel-novel sastrawan dunia disimpannya secara khusus. Dia bahkan suka mengulang baca karya Yasunari Kawabata. Bahasanya bening, mirip kristal yang tembus cahaya, katanya.
Acap aku berpikir, mengapa harus mengenang peristiwa yang sudah digulung ombak waktu dan terempas jauh? “Kenangan memang seperti permen mentol. Semakin diisap, terasa segarnya,” ujarmu saat itu. “Tapi kenangan juga serbuk racun. Lekat ke hati dan bisa merusak masa depan. Aku tidak bermaksud mengajakmu melupakan masa lalu, justru seharusnya kita belajar dari situ.”
Setuju. Namun ada yang membikin cemas ketika kita bertemu dalam pameran tunggalku: kau tak sungguh-sungguh kehilangan aku. Suatu saat jika kau mampir ke rumahku yang dikelilingi pepohonan cemara, akan kaulihat betapa lukisanku aneh.
“Berubah aliran, ya, Mas?” tanya Chiara, suatu pagi.
“Kenapa?” Dengan rakus kuciumi wajahnya yang sepagi itu sudah harum oleh turbulence.
“Waktu Mas bikin serial Sepanjang Braga, hampir semua jatuh cinta melihatnya. Kemudian… Feliciano dari Filipina memborongnya.”
“Kau menyesali koleksi itu pindah tempat?” kupancing pendapatnya. “Seni tidak untuk diri sendiri, kan? Kata Mas, Van Gogh juga tidak pernah menyimpan lukisannya. Bikinlah masterpiece baru, dengan inspirasi yang lain.” Kau tahu, pagi itu aku sangat terharu.
Setengah windu yang lalu, seratus lukisan Sepanjang Braga mulai kubuat dengan warna kesunyian. Seperti perban lembut yang membebat luka.
Tak ada yang salah di antara kita. Luka itu terbentuk oleh waktu, oleh kata-kata yang urung diucapkan, oleh kebimbangan yang tak kunjung padam. Tapi, itu disadari setelah sepuluh tahun berlalu. Hadir sebagai noktah pada selembar peta, menjadi alamat yang kita kenali bersama….
Awan mendung di langit membuat kaca jendela mirip lembaran nikel. Lalu gerimis mulai rinai.
Sepanjang ingatan, Januari selalu menggugurkan hujan. Bandung sering kuyup, membuat kegiatan menjadi lamban di sebuah tempat dan bergegas di tempat lain.
Gerimis pula yang mengulurkan tangan gaib, membuka setiap lembar kenangan saat menyusuri sepanjang Braga. Titik-titik air menampar pipi kita. Cuaca menciptakan kontras antara tubuh dan jiwa kita: dingin dan hangat.
“Kudengar Kawisar pernah ke Paraguay. Melukis kubah gedung kesenian atau apa gitu….” Entah dari siapa kau tahu.
“Ya. Arsitek gedung itu mencari seniman yang memenuhi kriteria. Sahabatku terpilih. Dua bulan dia di sana untuk membuat orang-orang tercengang. Aku teringat Michelangelo. Oya, sudah nontonAgony and Ecstasy? Itu tentang Michelangelo.”
“Belum. Juga Basquiat, Surviving Picasso, Frida, atau Pollock. Feliciano pernah membicarakan. Kau tahu, kan? Aku di rumah juga memasak, berkebun, dan kadang-kadang membereskan kamar tidur….”
Di mana kau? Dalam gedung kedap atau di basement yang pengap? Sementara gerimis bertahan pada rinai pekat. Andai kau muncul di kafe ini, rambut dan bajumu pasti basah.
Keraguan membersit dalam pikiran: apakah salah tanggal? Dari saku jaket kuambil kartu posmu. Manila, 3 Januari 2013.
‘Apa kabar? Sebenarnya berlebihan memberitahumu bahwa hari Minggu 13 Januari aku ke Bandung. Di musim gerimis, Jalan Braga pasti teduh oleh langit kelabu dan lampu mobil tampak merah memar. Aku akan datang, dua hari sebelum Feliciano menyusul. Adakah memorabilia yang bisa kita peroleh di sana?
Semoga Mas dan keluarga sehat, terus berkarya, dan undang lagi aku ke pameranmu. Aku tidak mengubah nomor telepon, juga parfum. Tidak mengubah cara bicaraku yang mungkin menyakitkan. Salam.’
Lalu segores paraf, yang kukenal sejak masih saling bersurat belasan tahun, lewat. Isyaratmu selalu bermakna ganda. Kartu posmu kudapati dalam kotak surat. Beruntung tidak keduluan Chiara. Mustahil jika kau menyampaikan janji rahasia dalam kertas terbuka.
Bisa jadi, ketika kau menulis, Feliciano memelukmu. Terbaca setiap kata begitu engkau selesai menggerakkan pena. Bisa jadi, engkau menulis kartu pos lain untuk kaukirimkan.
Aku terlalu melodramatis menafsirkan isi kartu pos itu. Setiap orang bisa datang kapan saja, dalam rangka apa saja, ke Bandung, atau khusus ke Jalan Braga.
Kartu pos ini seperti bisikan yang dilempar ke sabana, diembus bayu, esok hari terbantun bersama embun di hamparan rumput. Adakah memorabilia yang bisa kita peroleh di sana?
Tentu kita berdua yang kaumaksud. Tapi, bukan berarti kita akan berada dalam waktu dan tempat yang bersamaan untuk meraup kenangan sepanjang Braga.
‘Aku tidak mengubah nomor telepon, juga parfum….’ Uf! Seolah-olah kita rutin berkomunikasi. Mudah kucium jejakmu melalui parfum yang merebak. Seperti ketika kutemukan dirimu di Galeri Soemardja tiga tahun lalu.
Memang, sepanjang mengenalmu, hanya beberapa kali kugenggam tanganmu. Tapi separuh jiwaku bagai terlepas setiap harus berpisah. Bahkan menjelang kau menikah dengan Feliciano, aku cuma mendengar suaramu dari bandara. Suara yang riang, tapi kutangkap sebagai nada lain. Nada yang sesungguhnya lebih kuat muncul dari hatiku: rasa kehilangan.
‘Aku akan datang lebih awal, dua hari sebelum Feliciano menyusul….’ Selarik informasi akurat atau sekaligus merupakan peringatan?
Kemarin, setelah kutempuh pertimbangan panjang dan menafsir setiap kalimatmu, aku meneleponmu! Namun selalu kudengar nada sibuk. Entah kenapa. Andai aku menelepon ke rumahmu, mungkin diterima Feliciano. Tak jadi soal, bukan? Karena aku pelukisSepanjang Braga.
Tapi itu tak kulakukan. Aku tak pernah tahu nomor telepon rumahmu di Manila. Aku tidak ingin membikin diriku semakin merasa bersalah. Aku bermaksud mengubur semua kenangan itu, tetapi selalu berat untuk mulai menimbun. Bahkan saat ini. Aku masih menunggumu. (*)
AKU masih menunggumu. Kartu posmu yang nyaris terlambat menyebabkan aku berangkat ke Bandung serbaterburu. Tapi, di kafe langganan ini aku masih menunggumu. Dengan debar jantung tak tentu.
Cangkir kopi kedua tiba di meja. Sedang kunanti bunyi langkah sepatumu yang dibuat amat lambat. Kubayangkan kau datang dari belakang, berjingkat, mendekap mataku.
“Kena kau!” seruku. Serentak kupeluk pinggangmu melalui punggung kursi. Andai tubuhmu seramping dulu, jemari kedua tanganku saling berjalin di balik panggulmu.
“Aku mulai sibuk membantu Feliciano,” katamu di telepon, setengah tahun lalu. “Dia punya dua galeri. Setiap bulan, masing-masing menyelenggarakan diskusi.”
“Menyenangkan,” komentarku. “Kudengar Feliciano rajin menulis kritik seni rupa. Apa pendapatnya tentang Sepanjang Braga?”
“Sejauh ini dia objektif. Warna-warnamu tumbuh sebagai cermin perasaan. Misalnya kesepian yang mendalam. Harapan kembalinya masa lalu. Atau perlambang cinta yang tulus. Menurutnya, muncul pula gurat ambiguitas.
Tapi itu dipahami sebagai open ending jika dalam sastra. Itu yang membuatnya setuju untuk memborong semuanya.”
Kuhela napas dengan perasaan saling tindih: puas dan kecewa. Merasa berhasil menyampaikan bahasa hati, namun tercuri seluruh diriku.
“Dia masih penasaran, kenapa aku minta seratus lukisanmu itu sebagai mahar, Mas. Tentu aku tak ingin melukai perasaannya.”
Tiba-tiba aku seperti sedang mengucurkan perasan jeruk nipis pada segaris luka. “Masih ingat Kawisar?” kualihkan pembicaraan. “Penulis yang berubah profesi menjadi pelukis.”
“Ingat!” sahutmu bersorak. Sekarang tinggal di Bali. Aku pernah menginap di rumahnya, di Nusa Dua. Sepanjang lima-per-enam malam kami membincang aliran seni lukis yang menyergap kaum muda. Kami sebal pada romantisme tokoh-tokoh tua yang tak mau turun takhta. Jauh lebih menarik jika setiap generasi lahir dengan identitas sendiri dan diapresiasi sebagai mazhab.
“Setuju. Kadang-kadang aku berdebat dengan Feliciano, lo. Maaf, suamiku kaya raya. Tapi dia tidak mengabdi pada hartanya. Dia masih menghargai kebudayaan.”
Engkau beruntung. Aku juga. Seorang gadis cantik kupersunting sembilan tahun lalu, semenjak jejakmu hilang. Dia mencintai seni yang lain. Novel-novel sastrawan dunia disimpannya secara khusus. Dia bahkan suka mengulang baca karya Yasunari Kawabata. Bahasanya bening, mirip kristal yang tembus cahaya, katanya.
Acap aku berpikir, mengapa harus mengenang peristiwa yang sudah digulung ombak waktu dan terempas jauh? “Kenangan memang seperti permen mentol. Semakin diisap, terasa segarnya,” ujarmu saat itu. “Tapi kenangan juga serbuk racun. Lekat ke hati dan bisa merusak masa depan. Aku tidak bermaksud mengajakmu melupakan masa lalu, justru seharusnya kita belajar dari situ.”
Setuju. Namun ada yang membikin cemas ketika kita bertemu dalam pameran tunggalku: kau tak sungguh-sungguh kehilangan aku. Suatu saat jika kau mampir ke rumahku yang dikelilingi pepohonan cemara, akan kaulihat betapa lukisanku aneh.
“Berubah aliran, ya, Mas?” tanya Chiara, suatu pagi.
“Kenapa?” Dengan rakus kuciumi wajahnya yang sepagi itu sudah harum oleh turbulence.
“Waktu Mas bikin serial Sepanjang Braga, hampir semua jatuh cinta melihatnya. Kemudian… Feliciano dari Filipina memborongnya.”
“Kau menyesali koleksi itu pindah tempat?” kupancing pendapatnya. “Seni tidak untuk diri sendiri, kan? Kata Mas, Van Gogh juga tidak pernah menyimpan lukisannya. Bikinlah masterpiece baru, dengan inspirasi yang lain.” Kau tahu, pagi itu aku sangat terharu.
***
SUDAH dua setengah jam aku menunggumu. Kulipat koran setelah kubaca ulang sisipan artikel tentang Gabriel Garcia Marquez. Proses penciptaan novel Seratus Tahun Kesunyian.Setengah windu yang lalu, seratus lukisan Sepanjang Braga mulai kubuat dengan warna kesunyian. Seperti perban lembut yang membebat luka.
Tak ada yang salah di antara kita. Luka itu terbentuk oleh waktu, oleh kata-kata yang urung diucapkan, oleh kebimbangan yang tak kunjung padam. Tapi, itu disadari setelah sepuluh tahun berlalu. Hadir sebagai noktah pada selembar peta, menjadi alamat yang kita kenali bersama….
Awan mendung di langit membuat kaca jendela mirip lembaran nikel. Lalu gerimis mulai rinai.
Sepanjang ingatan, Januari selalu menggugurkan hujan. Bandung sering kuyup, membuat kegiatan menjadi lamban di sebuah tempat dan bergegas di tempat lain.
Gerimis pula yang mengulurkan tangan gaib, membuka setiap lembar kenangan saat menyusuri sepanjang Braga. Titik-titik air menampar pipi kita. Cuaca menciptakan kontras antara tubuh dan jiwa kita: dingin dan hangat.
“Kudengar Kawisar pernah ke Paraguay. Melukis kubah gedung kesenian atau apa gitu….” Entah dari siapa kau tahu.
“Ya. Arsitek gedung itu mencari seniman yang memenuhi kriteria. Sahabatku terpilih. Dua bulan dia di sana untuk membuat orang-orang tercengang. Aku teringat Michelangelo. Oya, sudah nontonAgony and Ecstasy? Itu tentang Michelangelo.”
“Belum. Juga Basquiat, Surviving Picasso, Frida, atau Pollock. Feliciano pernah membicarakan. Kau tahu, kan? Aku di rumah juga memasak, berkebun, dan kadang-kadang membereskan kamar tidur….”
***
AKU masih menunggumu. Ada baiknya aku meneleponmu agar tak cuma menunggu digilas beribu-ribu kelebatan masa silam. Tapi kau berada di luar jangkauan. Tak teraba sinyal.Di mana kau? Dalam gedung kedap atau di basement yang pengap? Sementara gerimis bertahan pada rinai pekat. Andai kau muncul di kafe ini, rambut dan bajumu pasti basah.
Keraguan membersit dalam pikiran: apakah salah tanggal? Dari saku jaket kuambil kartu posmu. Manila, 3 Januari 2013.
‘Apa kabar? Sebenarnya berlebihan memberitahumu bahwa hari Minggu 13 Januari aku ke Bandung. Di musim gerimis, Jalan Braga pasti teduh oleh langit kelabu dan lampu mobil tampak merah memar. Aku akan datang, dua hari sebelum Feliciano menyusul. Adakah memorabilia yang bisa kita peroleh di sana?
Semoga Mas dan keluarga sehat, terus berkarya, dan undang lagi aku ke pameranmu. Aku tidak mengubah nomor telepon, juga parfum. Tidak mengubah cara bicaraku yang mungkin menyakitkan. Salam.’
Lalu segores paraf, yang kukenal sejak masih saling bersurat belasan tahun, lewat. Isyaratmu selalu bermakna ganda. Kartu posmu kudapati dalam kotak surat. Beruntung tidak keduluan Chiara. Mustahil jika kau menyampaikan janji rahasia dalam kertas terbuka.
Bisa jadi, ketika kau menulis, Feliciano memelukmu. Terbaca setiap kata begitu engkau selesai menggerakkan pena. Bisa jadi, engkau menulis kartu pos lain untuk kaukirimkan.
Aku terlalu melodramatis menafsirkan isi kartu pos itu. Setiap orang bisa datang kapan saja, dalam rangka apa saja, ke Bandung, atau khusus ke Jalan Braga.
Kartu pos ini seperti bisikan yang dilempar ke sabana, diembus bayu, esok hari terbantun bersama embun di hamparan rumput. Adakah memorabilia yang bisa kita peroleh di sana?
Tentu kita berdua yang kaumaksud. Tapi, bukan berarti kita akan berada dalam waktu dan tempat yang bersamaan untuk meraup kenangan sepanjang Braga.
‘Aku tidak mengubah nomor telepon, juga parfum….’ Uf! Seolah-olah kita rutin berkomunikasi. Mudah kucium jejakmu melalui parfum yang merebak. Seperti ketika kutemukan dirimu di Galeri Soemardja tiga tahun lalu.
Memang, sepanjang mengenalmu, hanya beberapa kali kugenggam tanganmu. Tapi separuh jiwaku bagai terlepas setiap harus berpisah. Bahkan menjelang kau menikah dengan Feliciano, aku cuma mendengar suaramu dari bandara. Suara yang riang, tapi kutangkap sebagai nada lain. Nada yang sesungguhnya lebih kuat muncul dari hatiku: rasa kehilangan.
‘Aku akan datang lebih awal, dua hari sebelum Feliciano menyusul….’ Selarik informasi akurat atau sekaligus merupakan peringatan?
Kemarin, setelah kutempuh pertimbangan panjang dan menafsir setiap kalimatmu, aku meneleponmu! Namun selalu kudengar nada sibuk. Entah kenapa. Andai aku menelepon ke rumahmu, mungkin diterima Feliciano. Tak jadi soal, bukan? Karena aku pelukisSepanjang Braga.
Tapi itu tak kulakukan. Aku tak pernah tahu nomor telepon rumahmu di Manila. Aku tidak ingin membikin diriku semakin merasa bersalah. Aku bermaksud mengubur semua kenangan itu, tetapi selalu berat untuk mulai menimbun. Bahkan saat ini. Aku masih menunggumu. (*)
Jakarta, 3 Januari 2013
sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2013/01/13/sepanjang-braga/#more-3770
Tidak ada komentar:
Posting Komentar