Rabu, 23 Januari 2013


Tentang Luisa

Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 13 Januari 2013)
Tentang Luisa ilustrasi Budiono
PEREMPUAN itu tidak menyisir rambut saat datang ke hotel ini, resepsionis berkata yakin, ia terlihat sangat kusut, lebih-lebih rambut sebahunya yang lebat dan berombak. Seingatku, tambah resepsionis, ia juga tidak pakai bedak, lipstik, apalagi pemerah pipi. Aku menduga ia memang datang dengan tergesa. Sangat mungkin ia belum makan sesuatu pun dari pagi hingga ia terlalu pucat. Perempuan itu segera bertanya tentang kamar 205. Aku hanya menjawab singkat: kamar itu sudah dipesan seseorang, pelanggan kami.
Perempuan itu bersorak: Ya, itu pasti dia!
***
Kami berpapasan saat aku akan turun ke lantai dasar untuk membaca koran hari Selasa, sementara perempuan itu menuju ke atas, ke kamar tempat ia menginap yang kemudian kuketahui bersebelahan dengan kamarku, ujar tamu hotel mencoba mengingat-ingat. Aku mengangguk padanya, dan ia diam saja. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu yang jauh berada di luar hotel. Atau mungkin ia hanya sedang tidak berminat berbasa-basi.
Waktu itu ia mengenakan blus merah marun.
“Esok paginya, aku baru tahu kalau namanya Luisa.”
***
Ia perempuan yang murung, demikian pernyataan penata taman. Tapi ia cantik, tentu saja. Sore pada hari pertama kedatangannya, perempuan itu turun ke halaman hotel. Ia bersikap seperti seseorang yang tengah menunggu. Ia melihat lama-lama ke jalan yang berdebu. Menghembuskan napas. Mengibaskan poni dengan gelisah. Mendadak terdiam. Lalu cepat-cepat ia menggelengkan kepala. Seolah-olah ia sedang memerintahkan pada dirinya bahwa ia tidak boleh menangis di sembarang tempat.
Langit cukup terang di sore itu. Hujan memang kadang turun di malam hari. Itu pun hanya hujan ringan. Tidak pernah cukup meluruhkan debu-debu dari pohon-pohonan. Perempuan itu berjalan lebih dekat ke taman di mana aku sedang mengamatinya diam-diam dari bawah pohon beringin. Di taman, ada anggrek bulan dan kembang melati putih sedang meruapkan keharuman.
“Kalian gardener hotel ini?” perempuan itu bertanya dengan suaranya yang jernih.
“Tidak. Kami penata taman yang hanya akan bekerja beberapa hari saja di sini.” Aku yang menjawab.
“Oh. Penata taman profesional?”
“Ya. Kira-kira begitu.”
“Namaku Luisa. Aku selalu menyukai taman, terutama taman kota yang lebih luas. Di rumah, aku punya taman yang kuurus sendiri. Dari kecil aku terbiasa melihat ibu merawat banyak sekali bunga di samping dan halaman rumah kami.”
Luisa terus berceloteh tentang taman di sudut rumahnya yang ia tata bergaya minimalis. Sesekali ia masih menyinggung soal ibunya yang menanam semua tumbuhan hingga pekarangan rumah mereka mirip hutan . Seterusnya ia berkata: Ini pertama kali aku datang ke sini tanpa seorang pun yang aku kenal kecuali seseorang yang telah berjanji menemuiku.
“Setelah itu Luisa banyak memandang kosong ke arah jalan. Bertambah murung,” tukas penata taman sembari menunjukkan tempat persisnya Luisa berdiri.
***
Perempuan itu datang kembali ke lobi hotel pada pukul tujuh malam karena penasaran apakah seseorang itu menelepon lagi dan memastikan kedatangannya. Kukatakan, tidak. Ia tidak menelepon. Perempuan itu mendesah tidak jelas. Aku berpikir seharusnya ia bisa saja menghubungi lelaki itu dengan mudah.
“Semua nomornya tidak aktif. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, kecuali menunggu,” kata perempuan itu seolah tahu apa yang kupikirkan.
Aku menatap simpatik pada mata perempuan itu. Ia tampak kebingungan. Lalu pergi begitu saja meninggalkan lobi hotel tanpa berkata apa-apa lagi.
Kemudian, dengan cepat, pembicaraan tentang perempuan yang menunggu seseorang yang mungkin saja tidak akan pernah datang, menyebar ke mana-mana. Semua orang yang berada di hotel, baik tamu, karyawan, hingga penata taman, menjadi akrab dengan nama Luisa.
“Sungguh, kami tidak pernah kedatangan tamu yang membuat kami amat mudah menjadikan ia bagian dari diri kami sebelum Luisa menginjakkan kaki di hotel ini. Ia membagi-bagi kemuraman hatinya ke banyak orang, dan kami semua menerima begitu saja.” Suara resepsionis lirih.
***
Tamu hotel itu kembali berkata: Secara kebetulan kami, aku dan Luisa, turun bersamaan untuk sarapan di restoran hotel, di sisi kolam renang. Kali itu ia tersenyum lebih dulu, aku membalasnya tanpa berpikir lama. Ia mengenakan syal hitam di leher yang jenjang. Rambutnya diikat agak tinggi, membuat ia lebih segar dari pertama kali aku melihatnya.
Kami tidak saling bicara selama sarapan, meski meja kami berdekatan. Aku juga tidak ingin mengusik hatinya yang rawan—ia tengah menunggu seseorang yang barangkali tidak akan datang.
Maka aku mengambilkan ia segelas kopi hitam, dan setelah itu aku berniat membiarkannya sendirian. Aku ingin jalan-jalan di sekitar kolam renang. Sekalian membersihkan udara kotor di dadaku. Udara di sekitar hotel sangat segar bila pagi hari. Hotel yang suasananya sehangat di rumah sendiri, terletak di bawah bukit-bukit kecil. Hanya saja, belum sempat aku melangkah, perempuan itu berkata, “Kau pernah menunggu seseorang?”
Tentu, aku menjawab spontan.
Aku sekarang sedang menunggu, ia menunduk, menyembunyikan matanya yang berkabut. Karena ini untuk pertama kali aku datang ke sini, maka aku sedikit merasa tersesat. Aku bahkan tidak terlalu yakin bisa menunjukkan titik keberadaanku seandainya temanku tiba-tiba menelepon lalu menanyakan di mana aku berada sekarang sebab mungkin saja ia mau menjemputku mengingat betapa menyedihkan apa yang kualami selama di sini.
Itu mengerikan, aku berkata lagi.
Perempuan itu tersenyum, miris. Dan aku sedang melakukan sesuatu yang mengerikan itu. Aku datang ke kota ini sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa di sini kecuali ia yang akan datang menemuiku itu. Kekasihku. Perempuan itu berhenti bicara. Ia mendadak gelisah. “Tapi sekarang ia belum datang juga, dan tidak bisa kuhubungi. Ponselnya mati sejak kemarin. Sementara aku sudah kehabisan semangat untuk menumpang bus, lalu pulang. Ketika berangkat ke sini, aku sudah meninggalkan segalanya.”
***
Luisa kembali lagi, ujar penata taman. Ia tidak terlihat lebih baik—tetap saja murung. Lingkar matanya mulai gelap. Ia pasti tidak tidur selama beberapa jam, atau kalaupun tidur, ia melakukannya sambil terus memikirkan sesuatu.
“Langit begitu bersih.” Ia berseru. Satu senyuman menghiasi pipinya yang sedikit memerah, namun terlalu cepat padam lagi.
“Itu bagus,” tukasku.
Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah jalan. Beberapa kendaraan melintas. “Dia tidak akan datang.” Tentu ia bicara dengan dirinya sendiri. “Ia tidak berani melepaskan apa-apa yang dimilikinya, seperti aku telah melepaskan semua yang aku sayangi.”
Aku tidak bisa ikut campur. Aku tidak mengenal seseorang yang ia tunggu. Malah sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu siapa perempuan bernama Luisa itu. Usianya lewat dari tiga puluhan. Mungkin pula empat puluhan. Yang pasti ia penyuka taman dan bunga. Dengar-dengar dari pembicaran tamu hotel, Luisa terlibat hubungan yang rumit dengan lelaki yang ditunggunya.
***
Tidak. Ia tidak turun lagi sejak pagi di hari ketiga. Ia bahkan tidak ng-bell untuk bertanya atau minta sesuatu. Atau entahlah, aku tidak terlalu ingat. Karena akhir pekan, hari itu hotel kami agak ramai. Itu membuatku tidak terlampau memerhatikan Luisa.
***
Setengah jam aku menunggunya di tangga, berharap kami akan sama-sama sarapan, dan siapa tahu untuk kali itu kami bisa berbincang lebih akrab lagi. Aku ingin menceritakan tentang hidupku padanya, sebagaimana sebelumnya ia sedikit bercerita mengenai hubungan gelapnya dengan lelaki yang ia tunggu. Lelaki itu pacar masa SMA. Sudah menikah dan memiliki dua orang putra. Luisa sendiri juga sudah berkeluarga, punya satu orang putri. Anak perempuannya itu kini duduk di kelas dua SMP. Cantik, berprestasi, dan anak yang periang. Namun semua itu, menurut cerita Luisa, seperti tak mampu membuatnya berbahagia dan merasa cukup. Diam-diam Luisa tetap menjalin hubungan dengan lelaki yang waktu itu ia pikir tidak akan datang menemuinya—hubungan yang membuat mereka letih dan terus-menerus kebingungan karena mereka ingin bersama tanpa bisa melepaskan orang-orang yang juga mereka sayangi. Keluarga.
Yeah, Bagaimanapun Luisa teman bicara yang tidak membosankan. Ia penuh kejutan di balik ekspresinya yang datar.
Tapi ia tidak pernah muncul pagi itu, juga saat aku kembali lagi ke atas—bersiap-siap mengisi liburan dengan mengunjungi beberapa tempat kenangan. Tempat-tempat yang dulu sangat disukai mendiang istriku.
***
Luisa tidak pergi ke taman. Aku melihat ia hanya berdiri di balik gorden putih dan tipis—menghadap jendela yang ia biarkan terbuka sejak kedatangannya. Memang hanya semacam bayangnya saja yang tampak olehku, namun aku bisa menduga kalau wajah Luisa tambah murung.
Dari balik gorden itu, Luisa—menurut dugaanku—kata penata taman melihat jalanan seperti yang biasa ia lakukan saat berada di taman. Ia bukan menyukai jalan itu, ia sama sekali tidak terkesan dengan jalan kota yang berlubang-lubang, tapi sekali lagi—ia tengah berharap seseorang akan muncul di sana. Seseorang yang telah membuat janji bertemu di kota yang sudah mereka pilih. Ah, bukan, bukan dia, melainkan lelaki itu yang memilih sebab pada satu waktu lelaki itu pernah menghabiskan tahun-tahun menggairahkan di kota ini saat ia melakukan penelitian naskah melayu bersama koleganya. Berkali-kali lelaki itu bercerita pada Luisa betapa ia ingin suatu hari mereka bertemu di sini, dan itu tidak mungkin pertemuan biasa.
Luisa sudah datang, dan ia menunggu nyaris putus asa.
***
Perempuan itu menghubungiku dari kamarnya. Tentu saja aku begitu terkejut karena aku nyaris melupakan kalau Luisa selama dua hari tidak pernah lagi keluar kamar. Bagaimana mungkin aku seceroboh itu? sesal resepsionis. Luisa mengatakan kalau ia akan segera check out dan meminta petugas mengantarkan bill ke kamarnya.
Dan… aku masih berbicara dengan Luisa, ketika lelaki itu muncul di hadapanku—seseorang yang wajahnya, walau sedikit tirus, masih kukenal dengan baik dan beberapa waktu lalu memesan kamar 205 di mana Luisa tengah menunggunya di sana.
“Halo, halo, halo…,” suara Luisa memanggil-manggil.
Aku menutup telepon, gemetar.
***
Tidak. Aku tidak mendengar apa-apa. Pertemuan mereka begitu senyap, tamu hotel menggelengkan kepala dengan mimik sedih.
***
Dari taman aku melihat dua bayangan bergerak liar di balik tirai putih yang jendelanya masih terbuka seperti hari-hari sebelumnya. Mereka sedang menari, penata taman sejenak termenung, atau bisa jadi sedang terlibat pembicaraan yang sangat menguras emosi.
“Ah, aku tidak bisa memastikan.”
***
Kemarin, pagi-pagi sekali petugas kebersihan hotel menemukan tulisan di pintu kamar 205: KAMI LETIH DENGAN PERASAAN KAMI SENDIRI. Kamar itu begitu sunyiBegitu mencekam. Hingga seseorang, barangkali tamu yang berniat mencari penginapan, berteriak kering persis di bawah jendela kamar 205. (*)


Kerinci-Batusangkar, 2012
Yetti A.KA, bergiat di Komunitas Lembar. Kumpulan cerpen terbarunya Kinoli (Javakarsa Media, 2012).



sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2013/01/13/tentang-luisa/#more-3766

Tidak ada komentar:

Posting Komentar